Jakarta – Maraknya barang impor murah ke Indonesia merupakan biang keladi sepinya Pasar Tanah Abang. MenKopUKM Teten Masduki menyebut banyaknya barang-barang impor yang dijual dengan harga murah membuat produk dalam negeri sulit untuk bersaing.
“Penyebab pasar Tanah Abang sepi bukanlah aplikasi TikTok, melainka yaitu barang impor murah. Enggak bisa pertentangkan kematian (Pasar) Tanah Abang dengan TikTok. Karena Tanah Abang pun dari dulu sudah jualan online, live shop, dan multichannel, sudah. Ini masalahnya masuk barang-barang dari luar yang sangat murah,” kata MenKopUKM Teten Masduki kepada awak media di Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa (24/10/2023).
Selain itu, para pedagang yang berjualan melalui siaran langsung atau live shopping juga masih kalah dari para artis. “Saya sudah lihat ke sana, ada semua kok, semua channel mereka jualan. Live shopping mereka jualan. Tapi live shopping-nya kalau enggak pakai artis siapa yang mau nonton? Begitu saya lihat, oh, kok enggak ada yang nonton? Nah ini problem-nya,” ujar MenKopUKM.
Sebelumnya diberitakan, sepinya pengunjung di Pasar Tanah Abang membuat sejumlah pedagang dihadapkan pada situasi yang pelik.
Bahkan, beberapa di antara mereka sampai harus ‘gulung tikar’, karena aktivitas jual beli yang kian menurun.
Pakar Ekonomi Digital FEB UI, Ibrahim Kholilul Rohman menyampaikan kondisi ini tidak hanya dialami oleh Pasar Tanah Abang saja, tetapi juga dialami hampir di semua sentra perdagangan retail Jakarta, seperti Glodok, Cipulir, Thamrin City, Ratu Plaza, dan sebagainya.
Menurutnya, faktor yang berpengaruh pada menurunnya aktivitas jual beli ini disebabkan oleh aspek demand (permintaan) dan aspek supply (penawaran) yang bekerja secara bersama-sama.
Dari sisi demand, Ibrahim mengatakan proporsi pengeluaran rumah tangga terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) memang cenderung melemah. Proporsi konsumsi rumah tangga terhadap PDB pada pertengahan tahun 2023 adalah proporsi terendah dalam sepuluh tahun terakhir.
“Konsumen cenderung mengalami penurunan kemampuan daya beli dari beberapa aspek, seperti dampak krisis akibat Covid-19 yang belum sepenuhnya pulih, sehingga perekonomian grass root belum benar-benar rebounding. Masyarakat lebih berhati-hati (precaution), ditandai dengan peningkatan tabungan di bawah Rp 5 miliar,” kata dia dikutip dari laman UI, Kamis (21/9/2023).
Dari sisi supply, sebut dia, masuknya barang-barang impor dari luar negeri, terutama dari China yang jauh lebih murah diperjualbelikan melalui platform digital, turut menyebabkan barang-barang yang dijual secara langsung, seperti di pasar atau offline menjadi kurang bersaing dari sisi harga.
Ibrahim mengatakan, secara umum masyarakat Indonesia memiliki pola permintaan yang price elastic.
Hal ini dapat diartikan bahwa sedikit perubahan pada harga akan menyebabkan perubahan yang lebih besar pada kuantitas barang yang diminta.
Dia mengaku, platform penjualan online menjadi lebih menarik bagi konsumen, karena mudah didapat dan harga lebih murah.
Terlebih, dalam platform tersebut juga didukung dengan ekosistem keuangan yang memudahkan konsumen dalam bertransaksi, seperti digital wallet, digital banking, fintech, peer to peer lending (P2P). Bahkan, ada paylater yang memungkinkan orang membeli barang meskipun dalam kondisi tidak memiliki budget.